Toko Adventure Terbaru

Minggu, 21 Desember 2008

'Akrobat' Partai Islam









'Akrobat' Partai Islam


Senin, 22/12/2008 10:55 WIB

Assalaamualaikum wr. wb.

Ustadz Sigit yg di Rahmati Allah, sebentar lagi perayaan pemilu akan dilaksanakan. Banyak dari kaum muslimin yg berharap pada partai-partai islam. Semoga dengan menangnya partai islam mereka dapat menegakkan syariat islam di negeri ini, apalagi di negeri ini mayoritas adalah umat muslim.

Ada beberapa hal yang saya ingin tanyakan menyangkut masalah politik.

  1. Banyak dari partai yg mengatakan islam tapi di setiap kampanye mereka selalu menjual kata-kata nasionalisme, demokrasi, pluralisme dsb, apakah ini semua "sejalan" dengan Syariat islam?
  2. Banyak juga ketika melakukan kampanye mereka menggelar panggung musik, terjadi ikhtilat, & menempel poster di sembarang tempat, apakah ini semua sejalan dengan syariat islam?

Besar harapan kami semoga di tahun 2009 ini kita dianugerahi pemimpin yang mau memperjuangkan syariat islam. Jazakallaah khairon.

UMAR

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Umar yang dicintai Allah, tentunya harapan anda adalah harapan kita semua kaum muslimin yang menginginkan adanya perbaikan kearah yang diridhoi Allah swt, meskipun jalan ini masih sangat panjang dan dipenuhi dengan berbagai halangan dan rintangan terutama tarikan-tarikan dunia yang kerap kali merontokan keimanan orang-orang yang tidak istiqomah dijalan-Nya.

Namun demikian, sebagai seorang yang meyakini bahwa ditangan Allah lah segala kekuasaan suatu kelompok atau kaum, dan Dial ah yang menggilirkannya diantara umat manusia, maka kita pun meyakini bahwa masa depan ada ditangan islam, entah di masa kita atau dimasa generasi setelah kita, Wallahu A’lam.

Allah swt memerintahkan kepada kita, kaum muslimin, untuk terus berupaya dan berusaha mewujudkan cita-cita itu untuk kemudian menyerahkan sepenuhnya hasil dari semua itu kepada Allah swt, Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Artinya : “dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. At Taubah : 105)

Terkait dengan pertanyaan yang diajukan, maka saya mencoba untuk menjawabnya secara global dan tidak kepada point per point dikarenakan terlalu luasnya pembahasan dan diantaranya ada yang diperbolehkan untuk dijadikan sarana dalam da’wah tapi juga ada yang memang sudah menjadi trademark atau ciri khas orang-orang diluar islam.

Islam adalah Negara dan Pemerintahan

Imam Hasan Al Banna mengatakan, ”Islam adalah aturan universal yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintahan dan umat. Ia adalah akhlak dan kekuatan atau kasih sayang dan keadilan. Ia adalah tsaqofah dan undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan sumber daya alam atau penghasilan dan kekayaan. Ia adalah jihad dan da’wah atau tentara dan pemikiran, sebagaimana ia adalah akidah yang lurus dan ibadah yang benar.” (Majmuatur Rosail hal 268)

Islam tidak memerintahkan setiap umatnya hanya mengejar akherat kemudian mereka melupakan aspek-aspek duniawinya. Namun islam meminta mereka semua untuk tetap memberikan perhatian kepada dunianya sebagai ladang bagi mereka untuk mendapatkan kebahagiaan di akherat. Firman Allah swt

Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qoshosh : 77)

Ayat ini begitu jelas dalam memberikan panduan kepada setiap muslim untuk senantiasa menjadikan bagian dari apa yang didapat dari Allah swt berupa dunianya untuk kebahagiaan akheratnya. Dunia yang diberikan Allah kepadanya bukanlah untuk berbangga-banggaan, takabbur apalagi merasa tinggi dari yang tidak mendapatkannya. Dunia bagi seorang mukmin adalah ladang akheratnya.

Puncak kebahagiaan dunia bagi umat ini adalah ketika negeri-negeri mereka makmur, aman, sejahtera dan mendapatkan ridho dari Allah swt :


Artinya : "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". (QS. Saba’ 15)

Kata-kata “dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun" adalah Yang Memberikan nikmat negeri itu kepada kalian adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. Dia swt lah yang menutupi dosa-dosamu, yang telah menggabungkan antara ampunan terhadap dosa-dosa mereka dengan kesejahteraan negeri mereka dan Dia tidaklah menggabungkan keduanya untuk seluruh makhluk-Nya. (al Jami’ li Ahkamil Qur’an juz XIV hal 567)

Islam sangat memadai untuk membawa umat manusia menuju keadaan yang demikian sebagaimana pernah dibuktikan di zaman Kholifah Umar bin Abdul Aziz. Ia berhasil membawa masyarakatnya menuju kesejahteraan dengan style kepemimpinan seorang yang waro’ dan takut akan hari pertemuannya dengan Allah swt.

Dimasa itu, meskipun beliau hanya berkuasa selama 2,5 tahun namun dia mampu mensejahterakan masyarakatnya sehingga tidak ada dari kaum muslimin pada masa itu yang merasa dirinya berhak menerima zakat begitu juga dengan orang-orang non muslim yang tidak merasa berhak menerima bantuan dari baitul mal, orang-orang yang berutang dilunasi oleh negara, para budak dibebaskan hingga para pemuda yang tidak memiliki bekal materi untuk menikah dibiayai oleh negara.

Sejarah itu juga sekaligus membuktikan bahwa islam adalah negara, tanah air, pemerintahan dan juga umat. Islam telah menjelaskan dasar-dasar negara tersebut, mekanisme pemilihan pemimpin, hubungan individu dengan negara, hak dan kewajiban warga negara terhadap negara serta hak dan kewajiban negara terhadap individu. Semua pembahasan itu sudah sangat dikenal didalam kitab-kitab hadits dan fiqih islam.

Kesimpulan berkenaan dengan masalah ini adalah bahwa dalam islam, negara dibangun berdasarkan landasan ideologis yang tidak lain adalah islam. Ia adalah negara akidah, bukan nasionalis, rasialis maupun regionalis.

Artinya : “dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya : 107)


Artinya : “dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS. Saba’ : 34)

Sedangkan pemerintahan adalah kekuasaan yang memerintah, ia merepresentasikan jati diri uamt secara utuh, mengatur urusan sosial, ekonomi, pertahanan, menejemen politik dalam negeri serta menata hubungannya dengan negara lain. Semuanya itu diatur dan dikelola dengan kekuasaan yang dimilikinya, baik kekuasaan materil maupun spiritual.

Islam menganggap bahwa menegakan lembaga pemerintahan adalah kewajiban yang pasti dan merupakan salah satu prinsip sosial kemasyarakatan yang dibawanya untuk umat manusia. Ia tidak memperbolehkan terjadinya kekacauan dan tidak membiarkan komunitas muslim tanpa pemimpin, sabda Rasulullah saw,”Jika kalian bertiga hendaklah kalian mengangkat salah seorang diantara kamu menjadi pemimpin.” (HR. Abu Daud)

Yang dimaksudkan pemerintahan Islam menurut Imam Hasan Al Banna diatas adalah pemerintahan islam yang diantara karakteristiknya yang khas adalah bersifat qurani dan syura. Disebutkan pemerintahan Qur’an karena ia tegak diatas prinsip-prinsip Al Qur’an dan tunduk kepada kaidah-kaidah dan hukum-hukumnya.


Artinya : “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS. Al Maidah : 49)

Disebut pemerintahan syuro karena ia tidak diktator didalam menentukan kebijakan tanpa bermusyawarah dengan ahlul halli wal aqd. Sebaliknya ia selalu mempertimbangkan pandangan dan pendapat mereka, khususnya dalam hal-hal yang sangat penting karena Allah swt, berfirman :

Artinya : “dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Al Imran : 159)

Syuro tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang belum diatur dengan nash-nash Al Qur’an maupun Sunnah. Ia merupakan sifat mendasar orang-orang beriman. (Syarah Ushul ‘Isyrin, edisi terjemahan, hal 44, 52)

Harapan Umat terhadap Partai-Partai Islam

Besar harapan umat ini untuk bisa merasakan kembali suasana dipimipin oleh seorang pemimpin yang waro’, tidak tamak dengan dunia, mencintai mereka dan mereka pun mencintainya, mendoakan mereka dan mereka pun mendoakannya. Umat pun merasa lelah dengan kondisi hidup yang selama ini dirasakan, kemiskinan seolah menjadi teman akrabnya, kebodohan menghiasi anak-anak mereka, kejahatan terus menghantui kehidupan mereka.

Di era demokrasi ini, umat menggantungkan harapannya itu kepada partai-partai islam, baik yang malu-malu menyatakan keislamannya maupun yang tegas-tegas berasaskan islam. Munculnya partai-partai islam ini merupakan sebuah terobosan baru di era reformasi sepuluh tahun lalu.

Beberapa keyakinan umat ini bahwa partai-partai islam mampu membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik dan diridhoi Allah swt dikarenakan beberapa kelebihan yang ada pada mereka dibandingkan partai-partai non islam :

  1. Pemimpin; umat meyakini bahwa partai-partai islam dipimpin oleh orang-orang yang bertaqwa, amanah dan takut kepada Allah swt.
  2. Tujuan; umat meyakini bahwa tujuan dari partai-partai islam adalah sebagaimana tujuan yang digariskan islam didalam sebuah pemerintahan, yaitu mensejahterakan umat didalam bingkai yang diridhoi Allah swt. Partai islam tidak akan hanya sebatas mencari keuntungan-keuntungan duniawi namun juga berupaya mendapatkan redho-Nya. Partai islam tidak ingin sukses sendirian sementara umatnya jauh tertinggal dibelakangnya.
  3. Sarana; umat meyakini bahwa islam bukan hanya sebatas pemanis partai-partai tersebut untuk merebut simpati masa dalam pesta lima tahunan saja (pemilu) akan tetapi sudah menjadi ciri khas dan karakternya. Dengan demikian partai islam tidak akan berprinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, meski tujuan tersebut baik.
    Partai islam akan menghindari berbagai sarana yang syubhat apalagi diharamkan menurut syariat hanya sekedar untuk menarik simpati masa pemilihnya. Mereka menghindari sarana-sarana yang hanya mendapatkan ridho dari manusia namun belum tentu mendapatkan ridho dari Allah swt.
  4. Prilaku para pejabatnya; Bercampurnya para pejabat partai-partai islam ini didalam dunia politik dengan berbagai macam orang yang berbeda latar belakang dan prinsipnya tidaklah menjadikan mereka larut dengan situasi dan keadaan sekelilingnya itu. Kalaulah orang-orang diluar partai ini melakukan risywah (suap), korupsi, memanfaatkan jabatannya untuk memeras orang lain, dan prilaku-prilaku kotor lainnya, maka para pejabat partai-partai ini haruslah berbeda dengan mereka.

Para pejabat yang menjadi simbol partai-partai islam ini adalah orang-orang yang sederhana, tidak tamak dengan dunia. Mereka bukanlah orang-orangnya aji mumpung; mumpung masih menjabat, jadi… kapan lagi?! Kesempatan belum tentu datang dua kali?! Tentang perkataan orang-orang sih, gampang…. itu urusan belakangan, apalagi umat, kasih aja dunianya sedikit pasti mereka lupa dan baik lagi dengan kita?!

Para pejabat partai-partai ini adalah orang-orang yang telah mendapatkan amanah dari umat jadi pastilah bisa membuktikan bahwa islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Mereka adalah penyeru orang-orang disekelilingnya bukan yang diseru, mereka mewarnai orang-orang tersebut dengan islam bukan mereka yang diwarnai oleh fikrah-fikrah diluar islam dari berbagai orang yang ada disekelilingnya.

Demikianlah keyakinan umat ini kepada partai-partai islam pada awalnya sehingga berbondong-bondong mereka menyerbunya didalam dua kali pemilu.

Apakah kondisi seperti itu masih akan tetap ada pada pemilu nanti?! Masihkah umat ini memberikan kepercayaannya kepada partai-partai islam?! Masihkah harapan (angan-angan) mereka pantas diberikan kepada partai-partai islam?! Wallahu A’lam.

Tahun demi tahun perjalanan reformasi, rezim demi rezim terus dilalui umat ini namun harapan mereka seperti jauh panggang dari api. Terlebih lagi pada tahun-tahun terakhir ini dengan maraknya berbagai pilkada di beberapa daerah, umat dibuat bingung dengan berbagai manuver dan terobosan yang sangat berani yang seolah-olah tidak mempertimbangkan tinjauan syariahnya, dipertontonkan oleh partai-partai islam.

Melihat berbagai ‘akrobat politik’ tersebut, ada yang masih menganggap bahwa pemikiran dan ilmunya belum sampai untuk memahaminya, akan tetapi pada saat yang sama dia juga berfikir, ”Lho.. kalau memang ilmu saya belum sampai tapi kenapa yang berfikir seperti saya begitu banyak? Jumlah mereka bisa ratusan bahkan ribuan, apakah mungkin ilmu mereka semua belum sampai untuk memahami hal-hal tersebut??!

Muncul juga didalam fikiran umat ini; apakah betul itu semua mencerminkan lebel islamnya?! Apakah betul hal itu murni untuk memperjuangkan umatnya? Apakah betul hal itu sesuai dengan syariah islam?! Karena syariah adalah segala sesuatu yang digariskan Allah swt untuk hamba-hamba-Nya berupa hukum-hukum akidah, ilmiyah atau akhlak.

Tidak jarang diantara manuver-manuver tersebut menggunakan berbagai istilah dan ciri khas orang-orang di luar islam.


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi Katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al Baqoroh : 104)

Sayyid Qutb mengatakan, ”Disebutkan didalam beberapa riwayat bahwa sebab dari pelarangan terhadap kalimat “raa’ina” … bahwa orang-orang bodoh Yahudi cenderung mengatakan lafazh (istilah) ini dan mereka mengarahkannnya kepada Nabi saw sehingga menjadikannya makna lain yang diambil dari ar ru’uunah.

Mereka takut menghina Nabi saw secara langsung maka mereka berbuat kelicikan dalam menghinanya saw dengan cara yang berliku-liku dan tidaklah melakukan hal ini kecuali anak-anak kecil yang bodoh!

Dari sini maka datanglah larangan bagi kaum mukminin untuk menggunakan istilah-istilah yang dipakai oleh orang-orang Yahudi. Mereka juga diperintahkan untuk menggunakan istilah lainnya yang serupa maknanya yang tidak bisa dipelesetkan dan disimpangkan oleh orang-orang bodoh untuk menghilangkan keinginan rendah lagi bodoh dari mereka.

Penggunaan semisal sarana dari orang-orang Yahudi ini akan menyuburkan kemurkaan dan kedengkian mereka sebagaimana menyuburkan prilaku yang buruk, kehinaan sarana dan kemunduran perilaku. Sedangkan pelarangan terhadap hal itu menunjukan pemeliharaan Allah terhadap nabi-Nya dan jama’ah muslimah, perlindungan Allah swt terhadap para walinya dihadapan berbagai tipu daya dan maksud buruk dari musuh-musuh mereka yang suka membuat makar. (Fii Zhilalil Qur’an juz I hal 100 -101)

Sudah seharusnya partai-partai islam meninggalkan berbagai lafzah maupun istilah yang sudah menjadi ciri khas orang-orang atau partai-partai diluar islam. Partai-partai islam harus berani tampil dengan kekhasan dan keunikan yang dimilikinya sebagai suatu kebanggaan (izzah) sebagai muslim dihadapan seluruh partai-partai non islam.

Biarkan rakyat atau umat ini menilai untuk kemudian bagaimana pilihan mereka maka bertawakallah sepenuhnya kepada Allah swt, bagai sekumpulan pedagang buah-buahan di sebuah pasar yang sama namun mereka tidak pernah khawatir akan ditinggalkan pembelinya selama mereka bisa menjaga kualitas dagangannya.

Untuk itu, didalam melihat fenomena yang ada disekitar partai-partai islam sekarang ini dengan berbagai prilakunya maka kembalikanlah penilaiannya kepada hati kita masing-masing dengan tetap memohon kepada Allah swt agar diberikan petunjuk dari-Nya.

Kita, kaum muslimin, berharap semoga Allah swt senantiasa memberikan petunjuk dan arahan-Nya kepada kita semua, termasuk kepada para pemimpin partai-partai islam ini agar tetap istiqomah diatas jalan Allah swt. Dan juga semoga Allah swt menunjukkan kepada kita semua bahwa yang benar itu benar dan diberikan kekuatan untuk mengikutinya serta menunjukkan bahwa yang batil itu batil dan diberikan kekuatan untuk menjauhinya. Cukuplah Allah sebagai penolong dan pelindung.

Wallahu A’lam

Ustadz Sigit Pranowo, Lc.

Sumber : Eramuslim

Related Post :