Toko Adventure Terbaru

Jumat, 01 Agustus 2008

Menikah di Bulan Ramadhan dan Mahar






Ustadz Menjawab

bersama Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc.

Kirim Pertanyaan

Menikah di Bulan Ramadhan dan Mahar

Jumat, 1 Agu 08 07:37 WIB

Kirim teman

Assalamualaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz yang saya hormati...

Saya ingin bertanya

1. Apakah dalam syariat Islam menikah di bulan suci Ramadhan itu dilarang?

2. Mahar yang seperti apakah yang cenderung dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam melangsungkan pernikahan?

Demikian Pak Ustadz, Atas perhatiannya sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum wr. wb.

Joko Siswanto
joko_siswanto02@yahoo.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

1. Menikah Bulan Ramadhan

Dalam syariah Islam, tidak ada hari yang dilarang untuk melangsungkan akad nikah. Karena semua hari adalah hari baik. Tidak ada hari buruk atau hari sial.

Aqidah Islam juga tidak mengenal hari-hari apes, di mana kalau kita melakukan sesuatu hajatan, maka dipercaya akan tertimpa masalah. Masalah sudah pasti ada, tapi yang jelas bukan karena pernikahan dilakukan di hari tertentu.

Sebagian ulama menganjurkan agar akad nikah dilakukan di hari Jumat, semata-mata karena hari Jumat adalah hari baik, juga disebut sebagai sayyidul ayyam. Namun bukan berarti kalau tidak dilakukan di hari Jumat menjadi kurang baik.

Adapun bagaimana hukum menikah di bulan Ramadhan, pada hakikatnya juga tidak ada larangan. Baik dilakukan malam hari atau pun siang hari. Bahkan kalau mau, boleh saja menikah di hari Raya Idul Fitrh.

Mungkin yang jadi bahan pertimbangan adalah masalah 'godaan'-nya. Namanya juga pengantin baru, apalagi bulan madu, biasanya mereka akan melakukan apa saja yang sebelumnya tidak halal. Sementara di siang hari mereka diwajibkan puasa.

Dan melakukan jima' di siang hari bulan Ramadhan jelas ada ancamannya, yaitu membebaskan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin.

Sedangkan malam-malam bulan Ramadhan, sesungguhnya merupakan malam-malam yang idealnya diisi dengan berbagai taqarrub (pnedekatan) kepada Allah SWT. Baik dengan cara mengerjakan shalat tarawih, tahajjud, baca Quran, dzikir, dan lainnnya.

Bahkan diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan meninggalkan isterinya untuk beri'tikaf di dalam masjid. Walau pun hukumnya sunnah, bukan wajib, namun beri'tikaf di bulan Ramadhan amat dianjurkan.

Sekarang, tinggal dihitung-hitung saja. Apakah menguntungkan secara teknis kalau pasangan suami isteri menikah di bulan Ramadhan?

Seandainya mereka pandai memanaje waktu, silahkan saja.Tinggal bagaimana pasangan itu memanage waktu mereka seefisien mungkin.

2. Mahar Ideal

Mahar adalah harta benda yang bernilai nominal yang merupakan kewajiban suami untuk memberikan kepada isteri sewaktu akad nikah dilaksanakan.

Dalam pandangan kami, titik tekan mahar itu bukan pada simbolnya, melainkan justru pada nilainya. Sebab dalam pandangan kami, mahar itu pada hakikatnya adalah nafkah. Keduanya tidak ada bedanya.

Sekarang tolong jawab, apakah ada suami yang memberi nakfah bulanan kepada isterinya dalam bentuk seperangkat alat shalat? Rasanya tidak ada, bukan? Memang mau makan separangkat alat shalat? Apakah seseorang bisa hidup dengan seperangkat alat shalat?

Nah, logikanya, yang namanya mas kawin atau mahar juga seharusnya merupakan harta yang punya nilai nominal. Bukan benda-benda yang punya nilai seni tapi tidak ada nilai nominalnya.

Bahkan oleh orang-orang tua kita sudah jelas penyebutannya, yaitu mas kawin. Tahukah Anda, kenapa disebut dengan istilah mas kawin?

Karena pada hakikatnya memang yang diberikan itu adalah emas. Dan emas adalah benda yang jelas-jelas punya nilai nominal yang pasti. Dahulu, emas adalah alat tukar atau alat pembayaran yang berlaku secara universal.

Sayangnya, penggunaan istilah yang sudah sangat benar itu, akhirnya malah kehilangan makna, ketika orang-orang mulai mengganti mas kawin dengan berbagai benda yang -menurut kami- malah tidak ada nilai nominalnya.

Karena wujudnya malahan cuma benda-benda yang nilai nominalnya sangat rendah. Cuma sejadah, mukena, sarung, sendal, dan mushaf Al-Quran. Total nilai nominalnya hanya seratus dua ratus ribu perak. Tidak bisa bikin perut kenyang, sama sekali tidak bisa dijadikan jaminan hidup.

Idealnya, mahar yang diberikan adalah harta yang benar-benar punya nilai nominal dan ekonomis, bukan sekedar benda-benda 'murahan'. Misalnya rumah kos-kosan 10 pintu di daerah Kuningan Jakarta. Sebab pemasukannya jelas, satu pintu 2, 5 juta perbulan. Kalau ada 10 pintu, berarti 25 juta sebulan. Nah, ini baru namanya mahar, jelas dan real. Bukan cuman seperangkat alat shalat yang nilainya cuman cepek. Capek deh.

Kalau tidak punya yang ideal, boleh saja mahar berupa angkot yang juga ada setorannya. Atau kios yang juga memberikan pemasukan yang pasti.

Maka seandainya nanti suami berlaku sewenang-wenang, seperti meninggalkan isterinya, kawin lagi atau main serong, si isteri sih tenang-tenang saja. Sebab kos-kosan 10 pintu sudah 100% miliknya. Suaminya mau kawin lagi, silahkan saja. Karena hitung-hitungannya jelas.

Nah di masa lalu, demikianlah praktek mahar. Bukan cuma seperangkat alat shalat, tetapi memang sesuatu yang berarti dan jelas nilainya. Maka kalau kemudian Rasulullah SAW menganjurkan bahwa sebaik-baik mahar itu adalah yang murah, konteksnya tepat.

Maksudnya jangan terlalu memberatkan. Kalau ukurannya di zaman sekarang, kira-kira mahar itu nilainya 10 milyar. Maka wajar kalau Nabi SAW bilang sebaiknya diturunkan, jangan terlalu mahal. Maka kalau jadi 5 milyar, wajar lah.

Tapi bukan berarti nabi SAW mengajurkan mahar hanya selembar sejadah buat semua orang. Kalau memang miskin semacam para shahabat ahli Shuffah yang tidurna 'ngemper' i masjid, maharnya mau cincin dari besi, ata sepasang terompah tua, silahkan saja.

Tapi itu khusus buat mereka yang dhu'afa wal masakin. Sedangkan mahar para shahabat nabi yang lain, tentu sesuai dengan kondisi kantong mereka.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc




Related Post :